Kamis, 7 November 2024

Sebelum Diberlakukan, Pemerintah Perlu Masifkan Uji Coba Konversi Kompor Listrik

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi memasak menggunakan kompor listrik. Foto: Pexels

Trubus Rahadiansyah Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti mendukung Pemerintah melanjutkan uji coba konversi kompor berbahan bakar elpiji ke kompor listrik, dan membuktikan kalau kompor listrik lebih hemat biaya.

“Perlu lebih banyak uji coba, daerah diperluas, konteksnya di daerah yang masyarakat perkampungan banyak. Jangan di kota, meski di kota juga perlu. Saya ingin melihat apakah menggunakan kompor gas lebih mahal dari listrik, artinya teori cost benefit,” ujarnya di Jakarta, Senin (26/9/2022).

Menurut Trubus, dia sudah turun ke lapangan dan bicara dengan masyarakat. Hasilnya, dia menyimpulkan belum ada urgensinya mengkonversi kompor elpiji ke kompor listrik.

“Artinya, kebijakan konversi tidak ada urgensinya. Persoalannya, itu yang namanya kebijakan apa yang dimau Pemerintah. Pemerintah maunya mengkonversi jadi kompor listrik, sehingga kebijakan itu menjadi tidak tepat peruntukannya, tidak tepat,” jelasnya.

Dia melanjutkan, Pemerintah masih belum melakukan komunikasi publik yang cukup efektif kepada masyarakat terkait rencana pemberlakuan kebijakan itu.

Di sisi lain, Trubus menilai infrastruktur pendukung konversi kompor listrik itu juga belum siap.

“Infrastruktur harus disiapkan semua, misal kalau rusak bawa ke mana? Harus dimodifikasi sesuai dengan daya listrik di rumah. Ada kolaborasi dengan para pabrikan, agar lebih sederhana. Apalagi keluhan di masyarakat listrik sering mati,” tambahnya.

Trubus pesimistis kebijakan itu bisa terlaksana di sisa waktu pemerintahan Presiden Jokowi.

“Saya lihat di masa Pak Jokowi belum mampu. Kalau bicara kebijakan publik, tidak mungkin jangka pendek,” timpalnya.

Rencananya, Pemerintah akan mulai melakukan uji coba konversi kompor listrik di Kota Solo, Jawa Tengah, dan Denpasar, Bali.

“Program kompor listrik induksi ini masih merupakan uji coba sebanyak dua ribu unit dari rencana 300 ribu unit, yang akan dilaksanakan di Bali dan di Solo,” kata Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian, pekan lalu, di Jakarta.

Airlangga bilang, hasil dari uji coba akan menjadi bahan evaluasi dan perbaikan program konversi kompor gas menjadi listrik industri.

Lebih lanjut, Ketua Umum Partai Golkar juga menegaskan, Pemerintah belum akan memberlakukan konversi kompor gas elpiji tiga kilogram menjadi kompor listrik induksi tahun ini.

Sementara itu, Fahmy Radhi Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengapresiasi rencana Pemerintah menerapkan program konversi kompor LPG tiga kilogram ke kompor listrik induksi.

Tapi, penundaan pemberlakuannya juga bisa diterima karena masih banyak persoalan teknis yang perlu dibenahi.

“Penundaan itu cukup realistis mengingat masih banyak masalah teknis yang belum teratasi. Pengguna kompor listrik harus pelanggan di batas 1.300 volt ampere (VA), dan masalah pemadaman listrik di berbagai daerah menjadi hambatan,” ucapnya.

Program konversi, kata Fahmy, bisa dikatakan tepat sepanjang tidak dimaksudkan sebagai alih beban dari PT PLN (Persero) ke masyarakat.

“Sebagai program konversi LPG yiga kilogram ke kompor listrik cukup tepat. Tapi, jangan sampai program itu dimaksudkan untuk mengalihkan beban oversupply dari PLN ke masyarakat,” ungkapnya.

Fahmy menegaskan, program tersebut tidak akan cukup mengonversi penggunaan LPG tiga kilogram. Maka dari itu, dia menyarankan Pemerintah juga mempertimbangkan bauran energi lain untuk konversi.

“Program konversi LPG tiga kilogram tidak akan mencukupi hanya dengan kompor listrik. Perlu dikembangkan bauran energi terdiri gasifikasi batu bara menjadi gas tabung, jaringan gas, kompor listrik LPG non-subsidi,” katanya.

Terkait penundaan konversi, Mamit Setiawan Direktur Eksekutif Energy Watch menilai penyebabnya adalah kekurangsiapan Pemerintah untuk menjalankan program tersebut.

“Penundaan itu menurut saya karena faktor dari persiapan terlebih dahulu. Karena kalau keekonomian, selama masih menggunakan tarif subsidi kompor induksi lebih ekonomis jika dibandingkan kompor gas,” terangnya.

Kalau masyarakat menggunakan LPG tiga kilogram sebanyak tiga tabung dalam satu bulan di mana harga eceran per tabung Rp20 ribu/tabung, maka pengeluarannya Rp60 ribu/bulan.

“Dibandingkan dengan kompor induksi di mana pemakaian dalam 1 bulan minimal saja 60 kwh. Dengan per kwh kita gunakan tarif 900 VA subsidi yaitu Rp605 per kwh maka sebulan harus membayar Rp37,8 ribu. Tapi, semua tergantung pemakaian ya. Sama seperti tarif listrik ke depannya,” lanjutnya.

Menurut Mamit, penundaan itu juga akan membuat beban PLN semakin berat karena harus menanggung beban kelebihan suplai produksi listrik. Megaproyek pembangkit listrik 35 giga watt (GW) dalam periode 2015-2019 menjadi penyebab kelebihan kapasitas listrik. Saat ini, PLN menanggung beban 6-7 GW.

“Saya kira dengan penundaan itu, maka beban bagi PLN akan semakin besar, karena kelebihan 6-7 GW menambah pengeluran PLN sebesar Rp3 triliun/GW/tahun,” paparnya.

Beban PLN, lanjut Mamit, akan bertambah karena skema kerja sama dengan Independent Power Producer (IPP). PLN diharapkan mampu menegosiasikan ulang skema tersebut.

“Skema dengan IPP adalah take or pay. PLN saya kira harus melakukan renegoisasi dengan IPP terkait dengan skema take or pay. Sehingga, tidak terlalu membebani keuangan PLN. Harapan kemarin dengan adanya konversi maka bisa meningkatkan konsumsi listrik,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Kamis, 7 November 2024
37o
Kurs